Minggu, 29 September 2013

Jerawat, Si Pengganggu Kecil

Jerawat (acne vulgaris), peradangan kronik folikel pilosebasea yang disebabkan oleh beberapa faktor dengan gambaran klinis yang khas, selalu mendapat perhatian bagi para remaja dan dewasa muda. Melihat angka prevalensi jerawat yang berkisar 79-95% di kalangan remaja dan dewasa muda, hampir semua orang pernah mengalami masalah jerawat. Jerawat ditandai dengan adanya komedo, papula, pustula, dan kista pada daerah-daerah predileksi, seperti wajah, bahu, bagian atas dari extremitas superior, dada, dan punggung (Enny, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda (14-25 tahun) merupakan kelompok umur dengan insedensi jerawat terbanyak. Biasanya jerawat akan berinvolusi sebelum usia 25 tahun, namun hal ini dapat berlanjut sampai usia dewasa. Jerawat terutama timbul pada kulit yang berminyak berlebihan akibat produksi sebum yang berlebihan di tempat dengan glandula sebasea yang banyak (Baumann dkk., 2009). Pada remaja terjadi perubahan fisiologis berupa kenaikan kadar hormon androgen yang kemudian menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi dari glandula sebacea sehingga kulit menjadi cenderung berminyak.
Anggapan bahwa beratnya akne berhubungan dengan sekresi sebum mengakibatkan dugaan bahwa makanan dengan kadar lemak dan karbohidrat yang tinggi dan juga produk yang diolah dari susu dapat memicu terjadinya akne karena produksi sebum yang lebih komedogenik (karena kadar lemak darah meningkat) kemudian menyumbat folikel pilosebaseus  lalu terjadi ruptur folikel dan inflamasi (Batya dkk., 2010). Namun demikian masih banyak pula kontroversi mengenai kaitan intake makanan dengan insidensi jerawat. Kurangnya pengetahuan tentang kaitan makanan terhadap insidensi jerawat kemudian menimbulkan persepsi yang simpang siur di masyarakat.
 Jerawat dapat mempengaruhi kualias hidup karena selain memiliki efek psikologis seperti minder atau malu, biaya perawatan dan pengobatannya pun cukup besar (Lehmann dkk., 2002). Oleh karena itu, dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu melakukan pencegahan jerawat tanpa menggunakan obat tertentu, dalam hal ini terkait dengan gaya hidup berupa pola intake makan.

Etiologi
Penyebab jerawat bermacam-macam (multifaktor), beberapa yang dianggap berpengaruh diantaranya:
a) Perubahan pola keratinisasi dalam folikel. Hal ini terkait dengan salah satu patogenesis jerawat berupa adanya peningkatan keratinisasi dalam folikel pilosebasea (Baumann dkk., 2009).
b) Meningkatnya produksi sebum yang menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi jerawat (Baumann dkk., 2009).
c) Terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya proses inflamasi folikel dalam sebum dan kekentalan sebum (Baumann dkk., 2009).
d) Peningkatan jumlah flora folikel (Propionibacterium acnes) yang berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum (Baumann dkk., 2009).
e) Terjadinya respon hospes berupa circulating antibodies yang memperberat jerawat (Graham-Brown dkk, 2005).
f) Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid, gonadotropin, serta ACTH, yang dapat dipengaruhi oleh faktor internal tubuh, ataupun konsumsi obat-obatan seperti steroid dan kontrasepesi oral. Orang dengan hiperandrogenisme memiliki tingkat keparahan jerawat yang lebih tinggi dibanding yang normal (Chiu dkk., 2003)
g) Faktor psikis. Jerawat dimasukkan dalam psychocutaneus disorder. Faktor emosional dan gangguan psikis dapat mencetuskan penyakit kulit, dapat menginduksi serangan baru atau memperburuk keadaan penyakit. Stress psikis dapat meningkatkan kadar androgen dalam darah (Syamsulhadi dkk, 2002).
h) Genetik. Seorang anak yang orangtuanya memiliki riwayat jerawat akan memiliki resiko sebesar 60% untuk menderita jerawat. Sementara jika memiliki saudara kandung dengan riwayat jerawat, maka resiko seseorang juga menderita jerawat sebesar 80%. Selain itu, pasien dengan jerawat memiliki sensitivitas lebih terhadap hormon androgen. Tingkat sensitivitas ini mempengaruhi derajat keparahan, durasi keaktifan lesi, dan persebaran lesi jerawat (Xu dkk., 2007).
i) Ras. Ras Kaukasoid cenderung lebih beresiko menderita jerawat disbanding ras Mongoloid dan Negroid (Smith, 2007).
j) Usia. Prevalensi tertinggi jerawat ada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda, yaitu 79-95%(Graham - Brown dkk, 2005).
k) Makanan. Pengaruh makanan terhadap jerawat masih kontroversi. Beberapa penelitian mengatakan ada makanan tertentu yang berpengaruh terhadap jerawat, namun ada pula yang mengatakan tidak berpengaruh. Namun kebanyakan penelitian dilakukan di negara yang didominasi ras Kaukasoid dan dengan pola makan western diet. Penelitian yang dilakukan di wilayah Asia masih jarang yang terpublikasikan.
l) Faktor lain: kosmetik, musim, trauma (Graham-Brown dkk, 2005).

Patogenesis
Ada empat hal yang menjadi kunci pathogenesis munculnya jerawat, yaitu: (1) hiperproliferasi keratinosit folikuler (2) produksi sebum yang berlebihan (3) kolonisasi Propionibacterium acne (4) proses inflamasi (Graham-Brown dkk, 2005).
Unit pada kulit yang sangat berperan dalam patogenesis jerawat adalah folikel pilosebasea. Proliferasi yang berlebih dan peningkatan kohesi antar sel terjadi di bagian infundibulum folikel yang diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti: stimulasi androgen, penurunan kadar asam linoleat pada kulit, dan peningkatan aktivitas IL-1α. Kondisi ini menyebabkan retensi sebum yang kemudian terjadi dilatasi infundibulum (Graham-Brown dkk, 2005).
Pada pasien jerawat terjadi peningkatan kadar sebum yang terjadi akibat peningkatan konversi hormon androgen menjadi bentuk 5 alfa dihidrotestosteron. Sebum merupakan komponen yang tersusun atas skualen, wax (lilin), ester dari sterol, kolesterol, lipid polar, dan trigliserida. Kenaikan abnormal dari kadar sebum menjadi faktor terjadinya deskuamasi dan hiperkeratinisasi. Bertambahnya erupsi korneosit di saluran pilosebasea, pelepasan korneosit yang tidak adequat, atau kombinasi keduanya menyebabkan penumpukan korneosit dalam saluran pilosebasea. Penumpukan korneosit dan sebum menyebabkan munculnya gambaran komedonal (Baumann dkk., 2009).
Kenaikan jumlah sebum berarti terjadi pula kenaikan kadar trigliserida, yang merupakan salah satu komponen penyusun sebum. Trigliserida dipecah oleh propionibacterium acne menjadi asam lemak bebas yang bersifat iritatif dan komedogenik. Asam lemak bebas menyebabkan peningkatan kolonisasi propionibacterium acne di kulit. Kenaikan sekresi sebum tidak disertai kenaikan kadar asam linoleat dalam sebum. Defisiensi asam linoleat dalam epitel folikel menimbulkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi barrier dari epitel, yang kemudian membuat dinding komedo mudah tertembus mediator inflamasi. Pada 24 jam pertama, ditemukan CD 4+ di sekitar dinding folikel dan CD 8+ di sekitar pembuluh darah. Limfosit adalah sel yang dominan ditemukan. Setelahnya sel dominan berganti menjadi neutrofil. Kejadian inflamasi ini terus berputar sehingga memungkinkan terjadi perkembangan lesi jerawat (Baumann dkk., 2009).

Gambaran Klinis
Predileksi jerawat adalah tempat dimana banyak ditemukan folikel pilosebasea, yaitu pada bagian wajah, bahu, lengan bagian atas, dada bagian atas, dan punggung bagian atas. Lesi berpusat pada daerah pori-pori kulit. Kebanyakan penderita jerawat datang ke klinik dengan keluhan kosmetik, walaupun jerawat dapat juga menimbulkan keluhan berupa rasa gatal.
Lesi jerawat secara garis besar dibagi menjadi lesi non-inflamatif, inflamatif, dan jaringan parut yang terjadi sebagai komplikasi kedua lesi lainnya. Lesi non inflamatif adalah komedo, baik komedo putih atau komedo tertutup (whitehead comedo) maupun komedo hitam atau komedo terbuka (blackhead comedo). Komedo merupakan gejala patognomonis bagi jerawat yang berupa papul milier dengan sumbatan sebum di tengahnya. Komedo hitam mengandung melanin karena letaknya superfisial, sementara komedo putih letaknya lebih dalam sehingga tidak lagi terdapat melanin. Lesi inflamatif terdiri dari papul, pustul, nodul, dan kista. Lesi ini muncul akibat adanya proses inflamasi di superfisial maupun profunda yang menyertai ruptur mikroskopik komedo. Papul dan pustul terjadi di bagian superfisial kulit, sementara nodul dan kista terjadi di bagian yang lebih profunda. Jaringan parut merupakan lesi yang terjadi sebagai komplikasi lesi inflamatif maupun non-inflamatif. Jaringan parut dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu rolling, boxscar, icepick, dan hypertrophic.
Dalam penerapan klinisnya jerawat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya. Klasifikasi ini dilakukan untuk menentukan jenis pengobatan, dan sebagai acuan follow-up keberhasilan terapi.


Klasifikasi jerawat menurut Lehmann dkk (2002) dibagi menjadi tiga kelompok:
  • derajat ringan, dengan ketentuan: Bila terdapat kurang dari 20 lesi non-inflamatif, atau bila terdapat kurang dari 15 lesi inflamatif, atau bila total lesi kurang dari 30
  • derajat sedang, dengan ketentuan: Bila terdapat 20-100 lesi non-inflamatif, atau bila terdapat 15-50 lesi inflamatif, atau bila total lesi 30-125. 
  • derajat berat, dengan ketentuan: Bila terdapat lebih dari 5 kista, atau bila terdapat lebih dari 100 lesi non-inflamatif, atau bila terdapat lebih dari 50 lesi inflamatif, atau bila total lesi lebih dari 125


MAKANAN DAN JERAWAT? *sengaja dibikin gede, buanyak banget yang nanyain soalnya haha

Beberapa penelitian menemukan adanya kaitan diet dengan kejadian jerawat. Sebuah penelitian yang dilakukan Smith, dkk. (2007) membuktikan bahwa diet LGL ( Low Glycemic Load) menurunkan simptom pada jerawat. Pada penelitian tersebut juga ditemukan grup kontrol mengkonsumsi lemak jenuh lebih banyak dibanding grup diet LGL. Diet indeks glikemik, lemak, dan kandungan susu tinggi diduga mempengaruhi insidensi jerawat. Hal ini terkait dengan pengaruh hormonal dari komponen diet tersebut yang memicu mediator pro-inflamatori dan meningkatkan kadar sebum. Meskipun demikian masih cukup banyak kontroversi antara kaitan intake makanan dengan kejadian jerawat, beberapa penelitian yang dilakukan di daerah barat (Eropa dan Amerika) menunjukkan hasil positif sedangkan beberapa lainnya menunjukkan hasil negatif (Spencer, dkk.,2009). Penelitian lain dilakukan di Korea dengan meneliti makanan yang biasa dimakan di daerah tersebut, baik Western food maupun makanan lokal. Hasilnya menunjukkan ada beberapa makanan non-Western yang dianggap mempengaruhi insidensi jerawat, yaitu junk food, minuman bersoda, keripik, keju, babi, ayam, kacang, dan rumput laut (Jung, dkk. 2010). Sebuah penelitian terbaru dilakukan di Indonesia yang menilai pengaruh intake tempe terhadap insidensi jerawat dan hasilnya menyatakan ada pengaruh yang signifikan secara statistik. Namun demikian, penelitian tersebut tidak memperhitungkan variabel makanan lain yang mungkin berpengaruh (Zulfitrah,2012).Penelitian berikutnya oleh Chiu dkk (2003) yang melibatan 22 sampel juga mendukung hasil peneiltian ini. Penelitian tersebut menunjukkan hasil korelasi negatif antara diet dan keparahan jerawat (r=-0,5, P=0,02).
     Penelitian lain yang dilakukan oleh Adebamowo, dkk (2005) dan melibatkan 47.355 sampel wanita menemukan adanya pengaruh intake susu terhadap insidensi jerawat (P=0,002), namun tidak dapat membuktikan adanya pengaruh komponen makanan lain.
     Penelitian uji klinis dilakukan oleh Smith, dkk. (2007) dengan model randomized controlled trial pada 43 sampel pria usia 15-25 tahun menguji pengaruh diet low-glicemic-load terhadap perbaikan simptom jerawat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan diet low-glicemic-load seperti ayam, ikan, roti gandum, pasta, dan buah menunjukkan perbaikan simptom lebih baik dibanding grup kontrol (P=0,03). Makanan berindeks glikemik tinggi mempengaruhi derajat keparahan jerawat
     Penelitian lainnya dilakukan di Korea oleh Jung, dkk (2010) melibatkan 783 pasien jerawat dengan metode cross-sectional menunjukkan hasil adanya beda frekuensi yang lebih tinggi signifikan pada makanan tertentu pada pasien jerawat dibanding kontrol, antara lain: junk food (P=0,002), minuman bersoda (P=0,005), keripik (P=0,001), keju (P=0,04), babi (p=0,02), ayam (P=0,001), kacang (P=0,002), dan rumput laut (p=0,003).


Note: hasil penelitian itu bermakna kalo p kurang dari 0,05 yaa temantemaan
Nah sekian sedikit sharing tentang jerawat. Semoga bermanfaat :D


1 komentar:

Posting Komentar